Pages

Thursday, February 4, 2010

The Power Of Habits (Shu Neng Sheng Qiao)

Saat saya sekolah di Pusdik Bahasa Dephan, saya mendapatkan sebuah kumpulan cerita yang sangat bermakna. Kumpulan cerita tersebut sebenarnya berasal dari negeri China dan kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris. Kurang lebih, berikut cerita salah satunya.
... ... ... ...
Di jaman dahulu kala di negeri China, hiduplah seorang tentara yang sangat cerdas dan pemberani. Ia sangat terkenal atas kepiawaiannya dalam memanah. Suatu hari ia bermaksud memamerkan kepandaiannya dan oleh karena itu ia memesan 100 batang anak panah untuk ditembakkan berserta alat-alat lain yang dibutuhkan. Setelah seluruhnya siap, ia berjalan dengan penuh percaya diri ke tengah lapangan. Setelah mengambil posisi, ia mulai menembakkan panahnya satu-persatu ke arah target yang berada jauh di ujung lapangan. Seluruh anak panah melesat dengan cepat dan mengenai tepat di tengah-tengah target tanpa ada satupun yang meleset dari perkenaan. Semua orang di lapangan yang melihat bersorak-sorai dan berdecak kagum atas kepiawaiannya.
Luar biasa !!! Bai Fa Bai Zhong..., 100 anak panah yang melesat dan 100 anak panah juga yang mengenai target dengan tepat. Dengan wajah berseri-seri dan penuh rasa bangga tentara tersebut berkata dengan lantang, “Saudara-saudara…lihatlah aku. Saat ini, kemampuan memanahku adalah yang terbaik di seluruh negeri. Saya yakin bahwa tidak akan mungkin ada orang lain yang dapat menandingi. Bagaimana menurut kalian semua ???” semua orang bersorak-sorai mendengarnya, “Menakjubkan..!!! Hebat..!!!... Hebat !!!...”. Namun, di antara teriakan dan sorak-sorai penonton, nampak seorang lelaki tua berteriak lantang, “Anda memang mengagumkan! Namun, sebenarnya kehebatanmu itu hanyalah sebuah akibat dari kebiasaan kecil yang berulang-ulang!”.
Seketika itu juga riuh-rendah penonton berhenti. Lapangan berubah menjadi sunyi senyap. Seluruh mata penonton teralihkan kepada lelaki tua tersebut. Lelaki tua yang ternyata seorang penjual minyak ini menyadari bahwa komentarnya membawa hawa ketidakbersahabatan, “Tunggu sebentar..” dia berkata, kemudian ia bangun dari tempat duduknya, mengambil uang koin tua yang memiliki lubang kecil di tengahnya serta sebuah botol. Kemudian ia menaruh koin tersebut tepat di atas botol tadi. Dengan penuh percaya diri, ia mengambil minyak yang ia jual dan memasukkan minyak tersebut ke dalam botol melalui lubang koin yang berada di atasnya. Dia terus melakukannya dengan hati-hati. Dan tak lama kemudian tampak botol tersebut penuh berisi minyak. Bagian yang menakjubkan adalah tidak ada sedikitpun minyak yang berceceran, bahkan tidak setetespun minyak mengenai koin tersebut. Minyak tersebut benar-benar masuk ke dalam botol melalui lubang kecil pada koin yang ada di atas botol. Tentara dan penonton yang ada seketika itu juga merasa takjub dan berteriak histeris, “Menakjubkan.. dahsyat.. hebat..!!! Hebat..!!!”
Dengan rendah hati, lelaki tua itu membalas rasa salut dari orang-orang dengan membungkukkan badannya sambil berkata, “Shu Neng Sheng Qiao, kebiasaan yang berulang-ulang akan menciptakan kemampuan yang luar biasa.” Pada akhirnya sang tentara memahami maksud yang disampaikan lelaki tua tadi dan kembali memberikan penghormatan kepada lelaki tua dengan membungkukkan badannya.
... ... ... ...
Dari cerita tadi kita dapat menarik sebuah pelajaran yang sangat berharga; HABIT IS POWER (Kebiasaan merupakan sebuah kekuatan). Artinya adalah bahwa semakin rajin kita melakukan sesuatu, semakin sering kita melakukan kebiasaan yang berulang, kemampuan dan keahlian kita terhadap kebiasaan spesifik tersebut akan semakin sempurna. Jika kita merubahnya menjadi sebuah kebiasaan yang dilakukan setiap hari, setiap saat dan setiap waktu, maka melalui proses tersebut kita akan memiliki sebuah keahlian yang mengagumkan yang tidak pernah kita sadari sebelumnya. Kemampuan kita semakin lama akan semakin terasah dan semakin sempurna.
Pada akhirnya, sesuatu yang awalnya kita rasa sulit karena ketidakbiasaan kita, semakin lama karena kebiasaan yang kita lakukan hal tersebut menjadi sangatlah mudah. Bahkan tanpa kita sadari hal yang awalnya sulit tersebut dapat kita lakukan secara otomatis tanpa berfikir terlebih dahulu.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan kita, kita membutuhkan sesuatu yang biasa disebut dengan “Karakter Sukses”. Dan karakter semacam ini hanya dapat kita peroleh dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang positif seperti halnya : positive thinking, antusias, optimis, disiplin, tanggung jawab, kejujuran, dan lain sebagainya. Dengan memelihara karakter seperti itu sehari-hari, maka dari waktu ke waktu akan tampak adanya peningkatan kualitas pada diri kita.
Oleh karena itu, marilah kita terus berusaha untuk selalu berlatih, memelihara, meningkatkan dan mengembangkan kebiasaan-kebiasaan positif kita guna mencapai tingkatan Karakter Sukses pada diri kita masing-masing. (DCN)

“A well-trained habit
will create mastery!
Let’s keep maintaining and improving the habit of
success thinking! Having success attitude!
So that all will from the success character which
will drive us to the top of success.”

Memori dan Air

”Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? “ (QS. Al Anbiyaa' (21): 30)

Para pembaca setia, materi kita kali ini berkaitan dengan pembentukan karakter diri kita dan orang-orang disekitar kita yang kita cintai. Hal ini coba kami kaitkan dengan unsur agama (yang dal hal ini adalah agama Islam), namun demikian, saya kira hal ini bisa diadopsi oleh agama apapun.

Diceritakan sebuah kisah nyata, bahwa ternyata kebenaran tradisi Penduduk Solomon untuk mematikan Roh sebuah Pohon dibuktikan secara Ilmiah oleh Pakar Air dari Jepang Dr. Masaru Emoto yang menemukan bahwa Air mempunyai Memori.

Islam sendiri sejak awal menggunakan air untuk berwudlu sebelum sholat. Bahkan air zam-zam yang selalu dikelilingi doa, mampu menyembuhkan semua penyakit.

Dalam bukunya ”The Hidden Message in Water”, Dr. Masaru Emoto menguraikan bahwa air bersifat bisa merekam pesan, seperti pita magnetik atau CD. Semakin kuat konsentrasi pemberi pesan, semakin dalam pesan tercetak di air. Air bisa mentransfer pesan tadi melalui molekul air yang lain.

Temuan ini menjelaskan air putih yang didoakan bisa menyembuhkan si sakit. Ternyata molekul air itu menangkap pesan doa kesembuhan, menyimpannya, lalu vibrasinya merambat kepada molekul air lain yang ada di tubuh si sakit. Tubuh manusia memang 70% terdiri dari air. Otak 74.5%, Darah 82% air. Tulang yang keras pun mengandung 22% air.

Rasulullah saw, bersabda, “Zam-Zam Limaa Syuriba Lahuu,” Air zam-zam akan melaksanakan pesan dan niat yang meminumnya. Barang siapa minum supaya kenyang, dia akan kenyang. Barang siapa minum dengan niat kesembuhan, Insya Allah dia akan sembuh.

Keajaiban air Zam-Zam tidak tertandingi, termasuk air termurni di Kutub Utara dan Selatan sekalipun. Hal ini dibuktikan juga oleh Dr. Masaru Emoto, bahwa tak ada kandungan air di dunia yang menyamai kandungan air Zam-Zam. Dibeberkan bahwa molekul air Zam-Zam merupakan molekul air paling cantik dan indah di antara air lainnya. Tentu saja setiap doa yang terhembus dari setiap jamaah haji dan Umroh selama ini menjadikan air Zam-Zam sebagai air terindah yang akan terus menghapus dahaga rohani setiap tamu Allah di Mekah. Pantaslah air Zamzam begitu berkasiat karena ia menyimpan pesan doa jutaan manusia selama ribuan tahun sejak Sayyidina Ibrahim.

Temuan ilmuwan Jepang ini membuktikan khasiat doa yang ditransfer melalui air memang nyata. Meski sejak ribuan tahun sudah dipraktikkan, temuan ini membangunkan kembali kesadaran umat manusia.

Dengan penelitian ini, jelaslah sudah bahwa pengobatan alternatif melalui air yang telah diberi doa ternyata bisa memberikan kesembuhan kepada penyakit yang berat sekalipun. Oleh ilmu pengetahuan telah dibuktikan bahwa doa yang dibacakan pada air mampu merubah air tersebut menjadi air penyembuh. Penelitian ini sungguh menyadarkan kita bahwa ucapan, pikiran dan perbuatan kita yang tidak baik ternyata mampu mengalirkan energi negatif yang merubah segala sesuatunya menjadi tidak baik. Peristiwa tsunami di Aceh adalah bukti bahwa alam (air) telah merespon segala ketakutan, kemarahan, kesedihan rakyat aceh selama berpuluh-puluh tahun. Akibatnya adalah air merespon secara negatif dan berbalik menghantam mereka sendiri.

Untuk itu marilah kita berhati-hati! apalagi tubuh kita sendiri ternyata terdiri dari 70% air. Jika kita memiliki pikiran negatif maka air dalam tubuh kita juga akan membentuk pola yang negatif. Akibatnya malah bisa menimbulkan penyakit atau masalah lainnya.

Tidaklah mengherankan jika stres ternyata memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap timbulnya penyakit. Dengan penemuan yang brilian ini, kini saatnya bagi kita semua memiliki pikiran yang positif! Pikiran positif akan memancarkan gelombang energi dalam diri kita sendiri sehingga kesehatan akan semakin baik karena air dalam tubuh kita akan membentuk pola energi yang baik juga. Demikian gelombang energi positif ini akan mempengaruhi lingkungan sekitar kita hingga berdampak positif bagi kita. Hasilnya adalah kesuksesan hanya akan terjadi jika kita berpikiran positif! : rejeki tambah lancar, keluarga harmonis dll.

Bahkan segelas Air Susu pun mampu merekam Sebuah Peristiwa Amal Sholeh yang dilakukan dengan penuh ketulusan, inilah peristiwanya :

Suatu hari, seorang anak lelaki miskin yang hidup dari menjual asongan dari pintu ke pintu, menemukan bahwa di kantongnya hanya tersisa beberapa sen uangnya, dan dia sangat lapar.

Anak lelaki tersebut memutuskan untuk meminta makanan dari rumah berikutnya. Akan tetapi anak itu kehilangan keberanian saat seorang wanita muda membuka pintu rumah. Anak itu tidak jadi meminta makanan, ia hanya berani meminta segelas air. Wanita muda tersebut melihat, dan berpikir bahwa anak lelaki tersebut pastilah lapar, oleh karena itu ia membawakan segelas besar susu.
Anak lelaki itu meminumnya dengan lambat, dan kemudian bertanya, “Berapa saya harus membayar untuk segelas besar susu ini?”
Wanita itu menjawab, “Kamu tidak perlu membayar apapun”. “Ibu kami mengajarkan untuk tidak menerima bayaran untuk kebaikan”, kata wanita itu menambahkan. Anak lelaki itu kemudian menghabiskan susunya dan berkata, “Dari dalam hatiku aku berterima kasih pada anda.”

Sekian tahun kemudian, wanita muda tersebut mengalami sakit yang sangat kritis. Para dokter di kota itu sudah tidak sanggup menanganinya. Mereka akhirnya mengirimnya ke kota besar, di mana terdapat dokter spesialis yang mampu menangani penyakit langka tersebut. Dr. Horward Kelly dipanggil untuk melakukan pemeriksaan. Pada saat ia mendengar nama kota asal si wanita tersebut, terbersit seberkas pancaran aneh pada mata dokter Kelly.

Segera ia bangkit dan bergegas turun melalui hall rumah sakit, menuju kamar si wanita tersebut. Dan berpakaian jubah kedokteran ia menemui si wanita itu. Ia langsung mengenali itu pada sekali pandang. Ia kemudian kembali ke ruang konsultasi dan memutuskan untuk melakukan upaya terbaik untuk menyelamatkan nyawa wanita itu. Mulai hari itu, Ia selalu memberikan perhatian khusus pada kasus wanita itu. Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya diperoleh kemenangan.. .. Wanita itu sembuh!!

Dr. Kelly meminta bagian keuangan rumah sakit untuk mengirimkan seluruh tagihan biaya pengobatan kepadanya untuk persetujuan. Dr. Kelly melihatnya, dan menuliskan sesuatu pada pojok atas lembar tagihan, dan kemudian mengirimkannya ke kamar pasien.

Wanita itu takut untuk membuka tagihan tersebut, ia sangat yakin bahwa Ia tak akan mampu menbayar tagihan tesebut walaupun harus dicicil seumur hidupnya. Akhirnya Ia memberanikan diri untuk membaca tagihan tersebut, dan ada sesuatu yang menarik perhatiannya pada pojok atas lembar tagihan tersebut. Ia membaca tulisan yang berbunyi.. ”Telah dibayar lunas dengan segelas besar susu!!” tertanda, Dr Horward Kelly.

Air mata kebahagian membanjiri matanya. Ia berdoa: “Tuhan, terima kasih, bahwa cintamu telah memenuhi seluruh bumi melalui hati dan tangan manusia.”

Barangsiapa ingin doanya terkabul dan dibebaskan dari kesulitannya hendaklah dia mengatasi (menyelesaikan) kesulitan orang lain. (HR. Ahmad)

Jauhkan dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan (sodaqoh) sebutir kurma. (Mutafaq’alaih)

Turunkanlah (datangkanlah) rezekimu (dari Allah) dengan mengeluarkan sodaqoh.
(HR. Al-Baihaqi)

Semoga Bermanfaat...

(*Disadur dan diedit ulang dari Group Rumah Yatim Indonesia – Facebook – DCN.)

Medical Hypnosis: An Underutilized Treatment Approach

By Brian Alman, PhD

Abstract

Context: Use of hypnosis in medical practice has long been controversial, but recent developments in medical hypnosis--in particular, the understanding that the power of hypnosis resides mainly in the patient--have profound implications for treatment.

Objective: To illustrate and explain the therapeutically useful application of hypnosis in medical practice.
Design: Case series.

Setting: Department of Preventive Medicine at Kaiser Permanente Medical Center, San Diego.
Patients: Five outpatient Health Plan members referred to a department of preventive medicine for alleviation of physical, emotional, or behavioral symptoms.

Main outcome measures: Extent and duration of clinical recovery.

Results: Patients in all five cases had dramatically successful clinical outcomes after three or fewer intensive hypnotherapeutic sessions.

Conclusions: Medical hypnosis is an underutilized therapeutic modality which can be learned easily for everyday use in medical practice, especially when taking the medical history. In this era of emphasis on cost-effectiveness, both medical hypnosis and certain parahypnotic techniques (eg, closed-eye history taking) may be of special interest to physicians.

Introduction

Hypnosis is a state of highly focused attention (trance) in which external stimuli are disattended and suggestion becomes far more effective than usual.1 The fundamental usefulness of hypnosis in medicine and healing has been controversial for more than 200 years, ie, since Anton Mesmer produced the body of work now recognized as the beginning of clinical hypnosis. Does medical hypnosis work? If so, how? Does it produce real bodily healing at the physiologic level, or is its therapeutic effect merely the result of imagined comfort--and thus to be found in the mind only? These questions are reasonable and can best be addressed by clinical observation aided by modern technology.

The most clinically significant recent development in medical hypnosis is our understanding that the power of hypnosis actually resides in the patient and not in the doctor. This simple statement has profound implications because it implies existence of useful potential within each patient. The goal of modern medical hypnosis is to help patients use this unconscious potential--a revolutionary shift from the direction-focused, authoritarian therapeutic techniques of the past.

By contrast, modern medicine involves a highly rational belief system that minimizes the importance of autonomous therapeutic processes. This belief system has created an expectation that everything can be accomplished on a conscious and voluntary level, even though such voluntary efforts can sometimes obstruct natural healing processes. Notwithstanding this possible obstruction, a cumulative effect can be attained by simultaneously using the opposing concept that underlies modern medicine with medical hypnosis.

To support these statements and to illustrate the range of possible treatments, this article describes five patients who were treated with medical hypnosis after being referred to me from the Kaiser Permanente (KP) Department of Preventive Medicine in San Diego. Focusing on these five clinical examples presents the opportunity to answer three questions:
What is medical hypnosis?
How does medical hypnosis work, especially when no specific directions or suggestions are given?
When should medical hypnosis be used?

Discussion

Historically, medical hypnosis was identified with surgical anesthesia2 and with removal of symptoms. Medical hypnosis was defined as a state of heightened suggestibility in which something is done to a patient. From this interpretation--one in which hypnosis commands away the symptom--our definition has evolved to a subtler form that more effectively brings basic, long-lasting change. Because this description may seem undramatic to those who are familiar only with the commands of stage hypnosis--or with its often magical depiction in motion pictures--the distinction bears some elaboration.3

Medical hypnosis is quite different from the "command performance" of stage hypnosis, an activity that depends heavily on the practitioner's ability to quickly select from an audience those subjects who can be readily hypnotized.4 Stage hypnosis is also highly directed as to outcome ("You will sing like Frank Sinatra," "You will quack like a duck," etc). This directiveness can be dramatic and engaging, but it has limited utility. Unlike practitioners of stage hypnosis, physicians do not have the luxury of selecting subjects on the basis of perceived ease of outcome. In fact, for many patients, the problem is so complex that its resolution requires total dependence on unconscious processes occurring within the patient.5 For example, in none of the cases described were outcomes suggested; indeed, some outcomes were unanticipated. Research has shown that attempts to cure by specific direction and command have a high failure rate because of the unrecognized complexity underlying many patient problems.6

When we speak of medical hypnosis, we refer to a special type of interchange between two people--an interchange that involves trance. Trance can occur at many levels ranging from rapt attention with eyes open (entranced) to deep states that resemble somnolence. Whatever its depth, hypnotic trance has consistently been determined to have no relation to the state of sleep; hypnotic trance is physiologically a type of waking state. Moreover, just as an abdominal incision is itself not treatment but is instead the means through which surgical treatment may be done, hypnotic trance is not a treatment per se; instead, hypnotic trance is the framework in which treatment can more effectively be carried out. The goal is not to hypnotize someone; the goal is to accomplish a therapeutically valuable result during hypnotic trance.

Foundational Theories of Medical Hypnosis

Dr Milton Erickson--physician, psychotherapist, teacher, and arguably the consummate medical hypnotherapist of the 20th century--emphasized the need for practitioners to individualize their approach to hypnosis.9 Erickson believed that the hypnotherapist must understand, evaluate, accept, and use the unique aspects of each patient. Erickson's often-extraordinary results occurred precisely because they activated and further developed what was already within the patient instead of trying to impose from the outside an element that might be unacceptable for that individual's personality. Although easy to describe, this process is difficult to accomplish without extensive practice. To understand what can be accomplished in medical hypnosis--and to obtain a detailed explanation of the underlying concepts--I suggest you read "The February Man."10 This monograph provides a verbatim transcript and detailed explanation of one remarkable case in which Dr Erickson definitively treated the patient in four sessions, during which the patient believed that she was merely providing background information as the prelude to treatment.

In Dr Erickson's approach, all symptoms are viewed as signals. In this approach, the hypotherapist asks, "What is this patient trying to tell us with a headache, chronic fatigue, or recurring, stress-related skin disorder?" Some patients may present through their own imagery a metaphor about their emotions that ultimately helps expand the patient's conscious understanding.11
How Hypnosis Works

That medical hypnosis works is clear from the case examples given and from extensive clinical and experimental literature. However, the mechanisms of hypnosis and reasons for its effectiveness raise vastly more complex questions. Nonetheless, this situation is not different from that of aspirin, which was used effectively for more than half a century without anyone understanding how or why it worked. Like uses of hypnosis, some of aspirin's uses have been discovered only recently--and more may well be found. The five cases described in this article illustrate only our current understanding that the power of hypnosis resides in the patient.9,12 The power of hypnosis certainly need not originate in commands; indeed, none were given to our patients. Moreover, enhanced physiologic function (as in Case 1) must be interpreted as resulting from release phenomena, because biologic functions cannot be inserted. This interpretation implies existence of a wealth of material in the patient's unconscious that can be used in healing. This wealth of material is what current medical hypnosis techniques attempt to stimulate.


disadur dari group facebook "Clinical Hypnotherapy & Transpersonal Psychotherapy (2)"

Mencegah Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Sering kali kita membaca maupun mendengar dari berbagai media massa, adanya kekerasan yang dilakukan seorang suami terhadap istrinya atau seorang ayah atau ibu yang memukul anaknya. Di lain cerita, ada juga orang tua yang tega membakar atau menyetrika anaknya sendiri hanya karena masalah sepele. Ironis memang, keluarga yang semestinya tempat berlindung dan tempat seseorang untuk saling berbagi terkadang malah diwarnai oleh tindakan-tindakan kekerasan yang justru datang dari orang yang kita harapkan untuk memberi perlindungan dan kasih sayang.
Banyaknya tindak kekerasan dalam rumah tangga memicu dimunculkannya Undang-Undang Anti Kekerasan yang ditujukan untuk melindungi wanita maupun anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Para pelaku kekerasan dalam rumah tangga akan dihadapkan pada pasal-pasal hukum apabila terbukti melakukan tindak kekerasan terhadap anggota keluarganya.
Dalam mengantisipasi hal ini, memang sudah sepantasnya bagi pemerintah untuk lebih mensosialisasikan Undang-Undang Anti Kekerasan kepada masyarakat sehingga masyarakat lebih tanggap secara hukum.
Bila kita melihat lebih dekat lagi, kekerasan (violence) dalam rumah tangga dapat kita bedakan ke dalam 2 jenis :
1. Kekerasan Fisik.
Kekerasan ini berupa tindakan langsung terhadap fisik anggota keluarga yang bertujuan untuk menyakiti secara fisik. Kekerasan fisik ini bisa berupa pukulan, tamparan, tendangan, sundutan api rokok, siraman air panas, setrika, dan banyak lagi hal lainnya. Dalam jenis kekerasan fisik, akan
tampak jelas luka maupun trauma fisik pada korban yang terkadang sangat memiriskan hati.
2. Kekerasan Psikis.
Kekerasan ini merupakan tindakan yang bertujuan untuk menganggu ketenangan pikiran dan perasaan subyek. Kekerasan psikis bisa berupa bentakan, cacian / makian, ancaman maupun perilaku-perilaku yang dapat menyakiti hati seseorang. Bahkan lebih jauh lagi hal tersebut mungkin dapat menimbulkan trauma psikis dan mempengaruhi kondisi kejiwaan seseorang di masa yang akan datang.
Lalu, bagaimana caranya agar hal-hal tersebut tidak sampai muncul dalam kehidupan keluarga kita? Berikut adalah kiat-kiat yang dapat dilakukan dalam upaya mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga:
a. Jalinlah komunikasi yang harmonis dan efektif antar anggota keluarga. Dengan adanya jalinan komunikasi yang baik antar anggota keluarga memungkinkan segala permasalahan yang terjadi dapat lebih mudah diatasi. Dalam keluarga seperti ini, akan muncul saling keterbukaan, hilangnya rasa curiga dan menumbuhkan rasa saling percaya, sehingga hal ini akan menciptakan perasaan yang positif di antara anggota keluarga.
b. Saling memberi dukungan secara moril apabila ada anggota keluarga yang berada dalam kesulitan. Jadikanlah keluarga ibarat tubuh kita sendiri. Artinya jika salah seorang anggota keluarga mengalami kesulitan, maka kita tidak boleh berdiam diri melainkan berusaha agar kesulitan tersebut dapat segera diatasi. Membantu anggota keluarga tidak harus selalu dalam bentuk materi maupun tindakan tertentu. Dukungan yang paling mudah untuk kita berikan adalah berupa dukungan moril. Dalam hal ini kita diharapkan dapat memberikan simpati dan empati kepada keluarga kita yang mengalami kesulitan atau masalah. Usahakanlah untuk memberikan motivasi maupun dorongan kepadanya agar masalah yang ia hadapi dapat segera terselesaikan.
c. Saling menghargai (pendapat, pola pikir) antar pasangan. Dalam berumah tangga, perbedaan pendapat dan pola pikir merupakan hal yang lumrah. Bahkan pertengkaran pun terkadang menjadi bumbu kehidupan dalam rumah tangga. Namun demikian, bukan berarti hal tersebut dapat terus dibiarkan. Pertengkaran sekecil apapun dapat memicu terjadinya kasus kekerasan dalam rumah tangga. Oleh karena itu adalah tepat bagi kita untuk saling menghargai pasangan. Belajarlah untuk dapat memahami pendapat maupun pola pikir dan berusaha mendalami sudut pandang dari pasangan kita. Selalu memaksakan kehendak dan keinginan kita dapat menjadikan bumerang yang berbahaya bagi keutuhan rumah tangga. Sebaliknya, dengan belajar menghargai pasangan akan semakin mempererat jalinan emosi antara kita dan pasangan.
d. Menjalin keterbukaan antar pasangan dalam segala hal. Salah satu faktor penting untuk menjaga keharmonisan rumah tangga adalah adanya keterbukaan antar pasangan. Dengan sikap saling terbuka mendorong kita untuk selalu bersikap jujur dan saling berbagi dengan pasangan kita. Apapun permasalahan yang kita alami akan mudah didiskusikan dan diselesaikan bersama-sama. Sikap saling tertutup satu sama lain akan berdampak pada munculnya kecurigaan pada pasangan kita, sehingga hal ini akan dapat memicu munculnya pertengkaran di rumah tangga.
e. Saling memaafkan apabila salah satu pasangan melakukan kesalahan. Manusia adalah mahluk yang tidak pernah luput dari kesalahan. Oleh karena itu, sangatlah bijaksana jika kita mau meminta maaf terhadap kesalahan kita. Bukan hanya itu, memberikan maaf juga merupakan sifat yang mulia. Seandainya saja kedua hal ini dapat dibudayakan dalam keluarga kita, maka sangatlah kecil kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga kita.
f. Segera laporkan ke lembaga yang berwenang, apabila telah terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga baik psikis maupun fisik. Bila semua point di atas sudah anda upayakan secara maksimal untuk menghindari kekerasan di rumah tangga anda, namun hal tersebut tetap saja terjadi, maka langkah yang paling tepat adalah segera melaporkan ke lembaga yang berwenang. Dengan demikian, kekerasan-kekerasan lain tidak akan terulang dalam keluarga anda.
Ingatlah, bahwa kebahagiaan maupun kehancuran rumah tangga anda bergantung pada bagaimana anggota di dalam keluarga anda bekerja sama untuk tujuan keluarga anda. Saling menghargai dan mencintai adalah bibit yang baik untuk menuai kebahagiaan keluarga saat ini dan di masa yang akan datang. (DCN)

Jangan Takut Datang Ke Psikolog

“Mending nggak usah datang ke biro psikologi atau psikolog… nanti kamu dibilang nggak waras loh..”
“Ke psikolog? Emang ngapain? Kamu udah gila ya?”
“Hati-hati datang ke psikolog.. nanti rahasiamu ketahuan semua..!!”

Begitulah kira-kira tanggapan orang kepada orang lain yang akan berkonsultasi pada seorang psikolog. Sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa orang yang datang ke tempat praktek psikolog dan ingin mengutarakan permasalahannya dianggap sebagai orang yang tidak waras, punya penyakit kejiwaan atau biasa disebut “gila”. Apakah benar demikian? Jawabannya tentu saja TIDAK ! Biro Psikologi maupun tempat praktek psikolog bukanlah tempat datang dan berkumpulnya orang-orang “gila”.

Di negara maju seperti Amerika, Australia maupun negara-negara Eropa nun jauh di sana, datang ke seorang psikolog memiliki “kebanggaan” tersendiri. Orang yang bersedia mengutarakan atau berkonsultasi mengenai permasalahan yang dihadapinya bisa dikatakan merupakan orang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dan wawasan yang luas. Mereka datang atas kesadaran diri mereka sendiri untuk mengetahui dan lebih mengenal mengenai diri mereka sendiri.

Lalu, apa saja yang bisa kita dapatkan dari sebuah biro psikologi atau seorang psikolog? Pada dasarnya, datang ke psikolog bukan seperti kita datang ke dokter. Kita ke dokter karena memiliki keluhan sakit. Oleh dokter, kita diperiksa, diberi resep maupun obat, bayar dan pulang. Datang ke psikolog bisa lebih dari itu. Jika anda memiliki keluhan mengenai diri anda seperti memiliki suatu permasalahan dengan orang lain, mengenai pekerjaan, kesehatan mental / jiwa, stress, depresi, bahkan terkadang bisnis sekalipun, maka anda dapat berkonsultasi dengannya (psikolog). Begitu pula saat anda tidak memiliki masalah-masalah khusus seperti yang disebutkan di atas, anda bisa datang untuk mengetahui lebih dalam siapa diri anda, kepribadian anda, kelebihan dan kekurangan anda. Selain itu, yang datang ke psikolog tidak harus seseorang yang ingin tahu tentang dirinya sendiri, namun juga seseorang yang mewakili suatu organisasi maupun instansi tertentu yang ingin mengetahui seberapa ‘sehat’ dan efektifnya organisasi yang ia ikuti.

Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat beberapa kecabangan dari Psikologi itu sendiri.

1. Psikologi Klinis. Dalam cabang Psikologi Klinis, sesuai dengan namanya, maka yang dibahas di sini adalah yang berkaitan dengan masalah klinis. Dalam hal ini, seorang klien dapat berkonsultasi mengenai masalah-masalah yang tengah dihadapinya. Masalah yang dihadapi bisa beragam, seperti masalah depresi, stress, konflik dengan diri sendiri maupun orang lain dan masalah-masalah lain yang biasanya menyangkut dan menggangu kejiwaan seseorang. Seorang psikolog biasanya akan memberikan treatment yang cocok sesuai dengan masalah maupun kepribadian klien. Treatment maupun tindakan yang biasa diberikan disebut dengan terapi. Contoh-contoh terapi yang biasa diberikan adalah berupa konseling, CBT (Cognitive Behavior Therapy), EFT (Emotional Freedom Technique), Terapi Tingkah Laku, terapi hypnosis (Hypnotherapy) dan masih banyak bentuk terapi yang lainnya.

2. Psikologi Sosial. Dalam lingkup Psikologi Sosial, maka yang dibahas adalah tingkah laku manusia bukan sebagai individu, melainkan sebagai suatu kelompok sosial. Banyak hal yang bisa ditelaah dengan psikologi sosial, seperti perkembangan sosial dan budaya dari kelompok orang tertentu (yang memiliki kaitan erat dengan ilmu Sosiologi dan Antropologi), tingkah laku massa, crowd, demonstrasi dan sebagainya. Lebih dalam lagi, melalui telaahan Psikologi Sosial, kita bisa melihat dan mengukur keefektivitasan suatu kelompok, baik kelompok sosial maupun kelompok kerja / suatu organisasi dalam rangka mencapai tujuan kelompok / organisasinya. Bentuk treatment yang biasa diberikan adalah berupa pelatihan-pelatihan peningkatan efektivitas kelompok, maupun dalam bentuk kajian-kajian psikologi yang dapat dijadikan teori acuan bagi kasus-kasus serupa.

3. Psikologi Industri dan Organisasi. Cabang yang satu ini banyak diminati oleh perusahaan-perusahaan maupun organisasi pemerintahan. Dalam Psikologi Industri dan Organisasi, klien dapat menggunakan jasa psikolog dari mulai proses seleksi, promosi maupun mutasi, pelatihan (training) dan pengembangan (development) pegawai suatu perusahaan maupun instansi pemerintah. Dalam hal ini, masyarakat telah sering mendengar istilah tes psikologi calon karyawan / pegawai, assessment center, training baik indoor (di ruangan) maupun outdoor (lapangan) yang biasa dikenal dengan istilah outbound.

4. Psikologi Perkembangan. Mungkin anda memiliki putra / putri, keponakan, adik, maupun cucu yang bermasalah. Masalah yang umum biasanya mengenai kesulitan belajar, masalah dengan teman di sekolah, penyendiri, kesulitan konsentrasi, tantrum, terlambat bicara, autism, maupun masalah-masalah perkembangan yang lainnya. Dalam hal ini, anda juga dapat berkonsultasi dengan psikolog untuk mengetahui bagaimana cara penanganannya. Bisa saja psikolog yang bersangkutan akan bekerja sama dengan ahli terapi khusus, neorolog, dokter, maupun ahli-ahli lain yang berkompeten di bidangnya.

5. Psikologi Pendidikan. Sesuai dengan namanya, Psikologi Pendidikan bergerak di bidang pendidikan. Psikolog yang berkaitan dengan hal ini biasanya dapat ditempatkan di sekolah-sekolah, universitas maupun instansi pemerintah yang berkaitan dengan masalah pendidikan, namun demikian psikolog yang membuka praktek psikologi maupun biro konsultasi psikologi juga terkadang dapat menangani masalah ini. Pelayanan yang biasa diberikan adalah berupa tes psikologi calon siswa sekolah dasar (tes kesiapan sekolah), tes penjurusan bagi siswa SMU, maupun calon mahasiswa serta konsultasi pendidikan maupun kesulitan belajar siswa.

Pada dasarnya, sebuah biro psikologi dapat menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan kelima cabang psikologi di atas. Memang tidak semua psikolog dapat menangani seluruh masalah-masalah tersebut dikarenakan dengan spesialisasinya di salah satu cabang psikologi yang ada. Sementara sebagian psikolog lain memiliki lisensi dan menguasai kelima cabang psikologi di atas. Namun demikian, semua memiliki kode etik yang sama, salah satu diantaranya adalah menjaga kerahasiaan klien yang datang dan berkonsultasi kepadanya. Jadi anda tidak perlu khawatir rahasia anda akan diketahui orang banyak tanpa persetujuan dari anda sendiri.

Nah, jika anda sudah mengetahui secara umum bidang kerja psikologi, maka anda sudah tidak takut lagi kan untuk datang ke seorang psikolog maupun biro psikologi??? Siapa tahu masalah anda dapat dibantu dipecahkan oleh psikolog yang anda percayai. Selamat mencoba… (cahyoizm)

SELAMAT BELAJAR DARI ANGSA

Kalau anda tinggal di negara 4 musim, maka pada musim gugur akan terlihat rombongan angsa terbang ke arah selatan untuk menghindari musim dingin. Angsa-angsa tersebut terbang dengan formasi berbentuk huruf “V”. Kita akan melihat beberapa fakta ilmiah tentang mengapa rombongan angsa tersebut terbang dengan formasi “V”.

Fakta : Saat setiap burung mengepakkan sayapnya, hal itu memberikan “daya dukung” bagi burung yang terbang tepat di belakangnya. Ini terjadi karena burung yang terbang di belakang tidak perrlu bersusah payah untuk menembus ‘dinding udara’ di depannya. Dengan terbang dalam formasi “V”, seluruh kawanan burung dapat menempuh jarak terbang 71 % lebih jauh daripada kalau mereka terbang sendirian.

Pelajaran : Orang-orang yang bergerak dalam satu arah dan tujuan yang sama serta saling membagi dalam komunitas mereka dapat mencapai tujuan mereka dengan lebih cepat dan lebih mudah. Ini terjadi karena mereka menjalaninya dengan saling mendorong dan mendukung satu sama lain.

Fakta : Kalau seekor angsa terbang keluar dari formasi rombongan, ia akan merasa berat dan sulit untuk terbang sendirian. Dengan cepat ia akan kembali ke dalam formasi untuk mengambil keuntungan dari daya dukung yang diberikan burung yang di depannya.

Pelajaran : Kalau kita semua memiliki cukup logika umum seperti seekor angsa, kita akan tinggal dalam formasi dengan mereka yang berjalan di depan. Kita akan mau menerima bantuan dan memberikan bantuan kepada yang lainnya. Lebih sulit untuk melakukan sesuatu seorang diri dari pada melakukannya bersama-sama.

Fakta
:
Ketika angsa pemimpin yang terbang di depannya menjadi lelah, ia terbang memutar ke belakang formasi dan angsa lainnya akan terbang menggantikan posisinya.

Pelajaran : Adalah masuk akal untuk melakukan tugas-tugas yang sulit dan penuh tuntutan secara bergantian dan memimpin secara bersama. Seperti halnya angsa, manusia saling bergantung satu dengan lainnya dalam hal kemampuan, kapasitas dan memiliki keunikan dalam karunia, talenta maupun sumber daya lainnya.

Fakta
:
Angsa-angsa yang terbang dalam formasi ini mengeluarkan suara riuh-rendah dari belakang untuk memberikan semangat kepada angsa yang terbang di depan sehingga kecepatan terbang dapat terjaga.

Pelajaran
:
Kita harus memastikan bahwa suara kita harus memberikan kekuatan. Dalam kelompok yang saling menguatkan, hasil yang dicapai menjadi lebih besar. Kekuatan yang mendukung (berdiri dalam satu hati atau nilai-nilai utama dan saling menguatkan) adalah kualitas suara yang kita cari. Kita harus memastikan bahwa suara kita akan menguatkan dan bukan malah melemahkan.

Fakta
:
Ketika seekor angsa menjadi sakit, terluka atau ditembak jatuh, dua angsa lain akan ikut ke luar dari formasi bersama angsa tersebut dan mengikutinya terbang turun untuk membantu dan melindungi. Mereka tinggal dengan angsa yang jatuh itu sampai ia mati atau dapat terbang lagi. Setelah itu, mereka akan terbang lagi dengan kekuatan mereka sendiri atau dengan membentuk formasi baru untuk mengejar rombongan mereka.

Pelajaran : Kalau kita punya perasaan, setidaknya seperti seekor angsa, kita akan tinggal bersama sahabat dan sesama kita dalam saat-saat sulit mereka, sama seperti ketika segalanya berjalan dengan baik.

…………………………………

Nah, kita bisa belajar banyak bukan dari angsa-angsa tersebut ? terkadang kita tidak menyadari hal-hal yang kelihatan / kedengarannya sepele. Bahkan kita terkadang tidak menyadari ‘arti’ mahluk sosial yang menempel pada diri kita. Kita terkadang dikalahkan oleh rasa individualistik kita yang terlampau besar, yang bahkan seekor angsa pun menyadari bahwa dengan hidup menyendiri, bekerja sendiri dan melakukan segala sesuatunya sendiri akan sangat menyusahkan untuk dirinya.

Mereka berusaha untuk saling membantu demi kebaikan bersama yang akan secara tidak langsung akan mendatangkan keuntungan bagi individunya masing-masing.

Mereka bersedia memimpin dan dipimpin bergantian, sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Sebagai pemimpin, mereka berusaha untuk menunjukkan jalan menuju tujuan yang sudah disepakati bersama. Sebagai yang dipimpin, mereka memberikan dukungan dan semangat yang menguatkan pimpinannya (bukan suara-suara yang melemahkan atau menjatuhkan).

Yang paling ‘manusiawi’ dari mereka adalah bahwa mereka tidak pernah berusaha untuk meninggalkan kawannya yang sakit maupun terluka. Mereka memiliki empati terhadap sesama yang mempunyai masalah. Mereka bersedia tinggal bersama sahabatnya di saat-saat sulit untuk memberikan dukungan moril dan memotivasi untuk bangkit kembali.


Nah, marilah kita sedikit merenung dan belajar dari mereka. Kalau mereka saja mampu berfikir seperti itu, bagaimana dengan kita sendiri ??? (cahyoizm)

The Psychology of STRESS


It might seem like a simple concept. We toss the word around every day. Stress. But what does stress really mean? Is it the same thing as physiological arousal? Is is the same thing as “workload”? Is it any different from anxiety or unconscious anger? Is it the cause of trauma? Is it anything at all? Is it just a “myth”? [1]

Change
Let’s begin with the concept of change, because life is a process of change. Therefore, anything that involves change contains within it the “demand” that we adapt to it, in one way or another. Graduating from school can be as demanding as starting school, and starting a new job can be as demanding as losing a job.

How we perceive the change really determines how we manage to adapt to it.

If the perception is positive, we generally embrace the change with open arms and relief. And the story essentially ends there.

If the perception is negative—that is, if the change challenges our stamina or resources—the body will automatically—and dramatically—respond to this perceived threat with a variety of physiological responses.


Physiological Responses to Change
Early in the 20th century, Walter Cannon’s research in biological psychology led him to describe the “fight or flight” response of the Sympathetic Nervous System (SNS) to threats.[2] Cannon found that SNS arousal in response to a perceived threat involves several elements which prepare the body physiologically either to take a stand and fight off an attacker or to flee from the danger:

• Heart rate and blood pressure increase
• Perspiration increases
• Hearing and vision become more acute
• Hands and feet get cold, because blood is directed away from the extremities to the large muscles in order to prepare for fighting or fleeing.

Hans Selye [3] first popularized the concept of “stress” in the 1950s. Selye theorized that all individuals respond to all types of threatening situations in the same manner, and he called this the General Adaptation Syndrome (GAS). He claimed that, in addition to SNS arousal, other bodily systems such as the adrenal cortex and pituitary gland may be involved in a response to threat. For example, chemicals such as epinephrine (adrenaline) may serve to focus the body’s attention just on immediate self-preservation by inhibiting such functions as digestion, reproduction, tissue repair, and immune responses. Ultimately, as the threat wanes, Selye suggested, body functions return to normal, allowing the body to focus on healing and growth again. But if the threat is prolonged and chronic, the SNS arousal never gets “turned off,” and health can be impaired. With a continuously suppressed immune system, for example, a person would be more vulnerable than usual to infection—which is one explanation of why some individuals get sick so often.[4]

And, regardless of whether Selye was right or not, psychology, as well as medicine and popular culture, have accepted the concept of “stress” as an unpleasant fact of life.

Reducing Physiological Arousal
Physiological arousal can be uncomfortable and distracting in situations that might feel threatening but don’t involve an actual threat. Fortunately, this sort of arousal can be reduced by practicing some form of relaxation. A basic relaxation technique such as Progressive Muscle Relaxation (PMR) consciously helps muscles to relax, and, because muscle tension is one of the triggers of arousal, the PMR process, by decreasing muscle tension, essentially tells the body that the perceived danger is over and that systems can return to normal. More advanced forms of relaxation, such as autogenics and prayer, cause muscle relaxation through mental imagery.

Hence these forms of relaxation don’t just help to turn off the physiological symptoms of arousal—in the imagination they can actually change one’s view of change, so to speak, so that a change isn’t perceived as a threat in the first place. This is why the benefits of advanced relaxation techniques extend beyond their physiological benefits and can lead to enhanced performance, greater self-esteem, and serenity of mind.

What is “Stress”?
Given what we know about the physiology of arousal due to perceived threats, and given what we know about relaxation techniques to diminish that arousal, what can be said about the concept of “stress”?

Well, actually, not much.

A person could, for example, experience a job loss and respond to its perceived threat not with healthy problem-solving but with anger. This anger may be conscious or unconscious, but as long as it persists a state of physiological arousal will be maintained. In addition, perhaps this unfortunate person will experience a Major Depressive Episode or will develop an Anxiety Disorder.

In traditional terms it could be said that this person is under intense stress. In fact, because of Selye’s influence, psychology and medicine have tended to regard “stress” as if it were some “thing” that could destroy our health and happiness even against our wills.

But it could just as well be said that the person in the example has simply failed to accept change in a healthy, adaptive manner.

So maybe “stress” isn’t any “thing” at all. Maybe it’s just a descriptive term that our culture uses to normalize unconscious anger, a fear of love, a lack of forgiveness, a desperate clinging to a vain identity, and an absence of a spiritual life. Maybe “stress” is just a convenient myth to shift responsibility for life away from ourselves and onto something so vague that everyone can love to hate it.

But those who accept the discipline of a relaxation technique are at least taking a positive step—not to fighting “stress,” but toward living responsible lives.
--> http://www.guidetopsychology.com/